Zona Populer – Di tengah percepatan transisi energi global, Indonesia berupaya memperkuat posisinya melalui Soft Power Energi Indonesia. Konsep ini bukan hanya tentang teknologi energi baru dan terbarukan, tetapi juga tentang bagaimana Indonesia menggunakan kekuatan moral, inovasi, dan diplomasi untuk memperluas pengaruhnya di kawasan ASEAN. Dalam dunia yang semakin bergantung pada energi bersih, kemampuan sebuah negara mengelola sumber dayanya secara berkelanjutan menjadi ukuran baru kekuatan nasional.
Energi kini telah berubah menjadi alat diplomasi yang tak kalah penting dari militer atau ekonomi. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia menempatkan energi hijau sebagai sarana membangun kepercayaan dan kerja sama antarnegara. Sebagaimana diamanatkan oleh Paris Agreement, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi dan mempercepat adopsi Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun, lebih dari itu, Indonesia ingin menjadi contoh moral bahwa pembangunan berkelanjutan bisa berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, perjalanan menuju transisi energi tidak semudah wacana. Banyak proyek EBT di Indonesia menghadapi tantangan besar, mulai dari persoalan bankability, ketimpangan pendanaan, hingga regulasi yang belum sepenuhnya mendukung. Proyek-proyek energi bersih sering kali sulit mendapatkan dukungan perbankan karena dianggap berisiko tinggi. Padahal, jika ditata dengan baik, sektor ini memiliki potensi besar untuk menjadi lokomotif ekonomi baru yang mandiri dan berdaya saing.
Kemandirian energi adalah cita-cita besar yang tertuang dalam visi nasional. Pemerintah Indonesia ingin mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil impor dan meningkatkan produksi energi domestik berbasis sumber daya lokal seperti bioenergi, surya, angin, dan panas bumi. Di sinilah peran Soft Power Energi Indonesia diuji: apakah Indonesia bisa menjadi teladan di kawasan, atau hanya menjadi pengikut dalam tren hijau global.
Masalah utama yang dihadapi adalah pendanaan. Ketergantungan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dana asing membuat proyek-proyek energi hijau rentan terhadap pengaruh luar. Untuk mengatasi hal ini, Indonesia perlu menginisiasi mekanisme pembiayaan regional di ASEAN, seperti intrafund mechanism, yang memungkinkan negara-negara anggota saling mendukung riset dan inovasi energi. Jika berhasil, langkah ini akan memperkuat citra ASEAN sebagai kawasan yang solid dalam menghadapi tantangan energi global.
ASEAN melalui ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) telah mencoba menciptakan kerangka kerja sama energi hijau. Namun, implementasinya masih terbatas pada seminar dan pelatihan. Indonesia, sebagai negara terbesar di kawasan, memiliki tanggung jawab moral untuk mengubah kerja sama itu menjadi tindakan nyata. Dengan sumber daya dan kapasitas teknologinya, Indonesia dapat memimpin arah kebijakan energi ASEAN agar lebih konkret dan berdampak.
Jika Indonesia mampu memimpin tanpa mendominasi, maka Soft Power Energi Indonesia akan menjadi kekuatan baru di kawasan. Pengaruh yang lahir bukan dari tekanan, tetapi dari keteladanan kebijakan dan keberhasilan domestik. Dengan menempatkan diri sebagai pelopor transisi energi, Indonesia dapat memperkuat citra ASEAN sebagai kawasan yang beradab, mandiri, dan peduli lingkungan.
Selain energi terbarukan di darat, Indonesia juga memiliki potensi besar dari eksplorasi mineral dasar laut (seabed mining) yang digunakan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Potensi ini bisa menjadi sumber devisa baru, tetapi harus dijalankan dengan prinsip etika ekologis. Dunia kini menilai bukan hanya kemampuan eksploitasi, tetapi juga tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks inilah, kekuatan sejati Indonesia terletak pada integritas moralnya.
Kemandirian energi tidak berarti isolasi. Justru, Indonesia harus membuka diri untuk kolaborasi riset, investasi, dan pertukaran teknologi yang berkeadilan. Di sinilah diplomasi energi menjadi alat untuk membangun jejaring strategis tanpa kehilangan kedaulatan.
Salah satu sektor yang paling menjanjikan adalah bioenergi, khususnya bioetanol sebagai bahan bakar alternatif. Produksi bioetanol berbasis tanaman lokal dapat mengurangi impor bahan bakar fosil dan meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, tantangan muncul dalam bentuk kekhawatiran konversi lahan pangan dan dampak lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah harus menyeimbangkan kebijakan energi dengan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.
Program ini memerlukan komunikasi publik yang kuat. Membangun kepercayaan rakyat terhadap energi hijau bukan sekadar tugas teknis, tetapi diplomasi internal. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan energi tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan inklusif. Dengan demikian, Soft Power Energi Indonesia bisa tumbuh dari bawah—dari desa yang menyalakan listrik tenaga surya sendiri, hingga komunitas lokal yang memproduksi bahan bakar nabati secara mandiri.
Ambisi membangun industri baterai nasional menjadi langkah strategis untuk memperkuat rantai pasok energi hijau. Namun, tanpa pengelolaan limbah yang baik, tujuan energi bersih bisa menjadi kontradiksi. Dunia memperhatikan bagaimana Indonesia mengelola sisi gelap dari industrialisasi hijau ini. Konsistensi moral dalam menjaga lingkungan akan menentukan kredibilitas Indonesia di mata internasional.
Inilah hakikat Soft Power Energi Indonesia: kekuatan yang tidak tumbuh dari propaganda, tetapi dari koherensi antara kata dan tindakan. Ketika Indonesia mampu membuktikan bahwa kemandirian energi bisa dicapai tanpa mengorbankan lingkungan, maka dunia akan melihatnya sebagai pemimpin moral dalam transisi hijau.