Zona Populer – Di tengah gempuran kecerdasan buatan (AI) yang kian pesat, banyak orang—terutama generasi muda—mulai khawatir masa depan karier mereka akan tergantikan oleh mesin pintar. Mulai dari pekerjaan administrasi, analis data, hingga profesi kreatif kini perlahan diwarnai teknologi otomatisasi. Namun, dalam wawancara eksklusif bersama Channel 4 News di Inggris, CEO Nvidia Prediksi bahwa masa depan dunia kerja tidak akan sepenuhnya dikuasai AI.
Menurut Jensen Huang, justru akan muncul peluang baru di sektor lapangan yang membutuhkan keterampilan teknis. Ia menilai, di saat banyak pekerjaan kantoran terancam otomatisasi, profesi seperti tukang listrik, tukang kayu, tukang ledeng, dan pekerja konstruksi akan sangat dibutuhkan. Alasannya sederhana: pertumbuhan infrastruktur untuk menopang teknologi AI akan menciptakan ledakan permintaan tenaga kerja terampil di seluruh dunia.
AI mungkin terdengar abstrak dan digital, namun di balik sistem pintar tersebut terdapat jaringan fisik yang sangat besar. Pusat data atau data center adalah tulang punggung dari teknologi AI. Bangunan raksasa ini membutuhkan ribuan tenaga kerja konstruksi, teknisi pendingin, ahli listrik, dan mekanik agar bisa beroperasi optimal.
Dalam pernyataannya, Jensen Huang menegaskan bahwa pembangunan data center untuk mendukung AI tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Setiap tahun, kebutuhan fasilitas baru terus meningkat untuk memproses data dalam jumlah masif. “Kalau Anda seorang tukang listrik, tukang kayu, atau tukang ledeng, kita akan butuh ratusan ribu orang untuk membangun semua pabrik ini,” ujarnya.
Pernyataan ini memperlihatkan sisi lain dari revolusi digital. Di balik kemajuan perangkat lunak yang serba otomatis, justru muncul kebutuhan besar akan tenaga kerja di bidang fisik. Artinya, kemajuan AI tidak menghapus lapangan kerja, melainkan mengubah bentuknya.
Baca Juga : “Ajari Anak Hal Baru Menumbuhkan Rasa Ingin Tahu dan Percaya Diri Sejak Dini“
Nvidia, perusahaan yang dipimpin Huang, kini menjadi salah satu pemain utama di sektor chip AI dunia. Mereka bahkan telah mengumumkan rencana investasi senilai 100 miliar dolar AS (sekitar Rp 1.654 triliun) untuk pembangunan data center berbasis chip AI. Angka tersebut menandakan bahwa pertumbuhan industri AI tidak hanya akan menguntungkan perusahaan teknologi, tetapi juga membuka ribuan peluang kerja baru di berbagai bidang pendukung.
Menurut data McKinsey, belanja modal global untuk pembangunan data center dapat mencapai 7 triliun dolar AS pada tahun 2030. Satu kompleks data center berukuran 2,32 hektar saja bisa menyerap hingga 1.500 pekerja konstruksi selama masa pembangunan. Banyak di antara mereka yang memperoleh penghasilan lebih dari 100.000 dolar AS per tahun tanpa harus memiliki gelar sarjana.
Fakta tersebut memperkuat pernyataan CEO Nvidia Prediksi, bahwa keterampilan teknis dan kejuruan akan menjadi aset penting dalam dekade mendatang. Dengan meningkatnya permintaan terhadap infrastruktur AI, profesi seperti teknisi listrik, mekanik, dan ahli sistem pendingin akan semakin dihargai.
Huang menilai, pendidikan di masa depan harus menyesuaikan dengan perubahan ini. Generasi muda sebaiknya tidak hanya fokus pada bidang teknologi informasi atau pemrograman, tetapi juga mulai mempertimbangkan jalur kejuruan. Keterampilan praktis di dunia nyata akan menjadi modal utama untuk bersaing di era baru.
“Kalau saya berusia 20 tahun lagi, mungkin saya akan memilih ilmu-ilmu fisik ketimbang software,” ujarnya. Ilmu fisik yang dimaksud meliputi bidang seperti teknik elektro, teknik mesin, fisika terapan, dan keahlian praktis lain yang mendukung pembangunan infrastruktur.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Kementerian Pendidikan Amerika Serikat mulai memperluas program pendidikan vokasi untuk mempersiapkan tenaga kerja masa depan. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa kebutuhan terhadap pekerja terampil tidak bisa diabaikan.
Pandangan Jensen Huang ternyata senada dengan sejumlah pimpinan perusahaan besar dunia. CEO BlackRock, Larry Fink, misalnya, menyampaikan kekhawatiran bahwa Amerika Serikat bisa kekurangan tukang listrik untuk memenuhi kebutuhan data center AI. “Saya bahkan bilang ke tim pemerintahan, kita bisa kehabisan tukang listrik. Kita memang tidak punya cukup,” kata Fink.
Sementara itu, CEO Ford, Jim Farley, menambahkan bahwa rencana pemerintah AS untuk mengembalikan rantai pasok manufaktur ke dalam negeri tidak akan berhasil tanpa tenaga kerja lapangan yang cukup. “Bagaimana kita bisa membangun semua ini kalau tidak ada orangnya?” ujarnya.
Kekhawatiran para CEO besar ini semakin menegaskan bahwa pembangunan teknologi masa depan tidak akan berjalan tanpa dukungan tenaga kerja manusia yang terampil di lapangan.
Riset terbaru dari Yale Budget Lab menunjukkan bahwa belum terjadi disrupsi besar-besaran di pasar kerja akibat AI dalam 33 bulan sejak peluncuran ChatGPT. Namun, tren jangka panjang tetap menunjukkan adanya pergeseran jenis pekerjaan yang dibutuhkan.
Di satu sisi, pekerjaan yang bersifat administratif dan berulang mulai berkurang. Namun di sisi lain, pekerjaan yang melibatkan kemampuan fisik, kreativitas manual, serta interaksi langsung dengan lingkungan nyata justru meningkat.
Hal ini membuka peluang baru bagi generasi muda untuk berpikir ulang mengenai arah karier mereka. Era digital tidak selalu berarti harus duduk di depan komputer. Ada banyak peluang di luar sana yang justru muncul karena kemajuan teknologi itu sendiri.
Jika prediksi Huang terbukti benar, dekade mendatang bisa menjadi masa keemasan bagi pekerja lapangan. Dengan terus meningkatnya pembangunan infrastruktur AI di seluruh dunia, permintaan terhadap tukang listrik, tukang kayu, tukang ledeng, dan teknisi mekanik akan melonjak tajam.
CEO Nvidia Prediksi bahwa perubahan ini bukan sekadar tren sementara, melainkan transformasi besar dalam struktur ekonomi global. Dunia akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang menguasai keterampilan praktis, bukan hanya teori.
Dalam konteks ini, pekerjaan tukang bukan lagi dianggap “biasa”, tetapi menjadi bagian penting dari fondasi ekonomi digital masa depan. Pekerja terampil akan menjadi tulang punggung di balik kecerdasan buatan yang mengubah dunia.