Zona Populer – Dalam beberapa tahun terakhir, peta kekuatan industri semikonduktor dunia mengalami pergeseran besar. Negara-negara yang sebelumnya hanya menjadi pasar kini mulai muncul sebagai pemain utama dalam produksi chip. Fenomena ini menarik perhatian dunia, terutama setelah CEO Nvidia menyampaikan peringatan bahwa China kini menjadi pesaing kuat Amerika Serikat di sektor tersebut.
Jensen Huang, sosok di balik kesuksesan Nvidia sebagai raksasa teknologi grafis dan kecerdasan buatan (AI), menegaskan bahwa China kini “hanya selangkah di belakang” AS dalam pengembangan chip mutakhir. Ia menyampaikan hal itu dalam wawancara eksklusif baru-baru ini, yang langsung mengguncang industri teknologi global.
China selama ini dikenal sebagai pusat manufaktur dunia, tetapi kini ambisinya jauh melampaui itu. Pemerintah Tiongkok melalui kebijakan strategis “Made in China 2025” menargetkan kemandirian teknologi, khususnya di sektor semikonduktor dan kecerdasan buatan. Dana miliaran dolar telah digelontorkan untuk memperkuat industri chip lokal, termasuk untuk mendukung perusahaan seperti Huawei, SMIC, dan perusahaan rintisan lain di bidang AI.
Menurut Huang, China memiliki keunggulan dalam hal kecepatan adopsi teknologi dan kapasitas produksi yang luar biasa. Kombinasi antara sumber daya manusia yang melimpah, kebijakan pemerintah yang agresif, dan investasi besar dari sektor swasta menjadikan negara itu ancaman serius bagi dominasi teknologi Amerika.
“Jika kita melihat perkembangan mereka dalam lima tahun terakhir, sangat jelas bahwa China tidak bisa lagi dianggap sekadar sebagai pasar, tetapi sebagai inovator sejati di industri chip,” ujar Huang dalam pernyataannya.
Persaingan antara AS dan China di industri chip bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga geopolitik. Pemerintah Amerika Serikat telah menetapkan berbagai pembatasan ekspor chip canggih ke China sejak 2022. Tujuannya adalah membatasi kemampuan China dalam mengembangkan sistem AI tingkat tinggi dan teknologi militer berbasis chip.
Namun, langkah itu justru memicu efek sebaliknya. China semakin mempercepat pengembangan teknologi domestik untuk mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri. Banyak pengamat menilai bahwa pembatasan tersebut membuat China lebih gigih berinovasi, seperti yang terlihat dari kemajuan Huawei dalam mengembangkan chip Kirin generasi terbaru.
CEO Nvidia menilai bahwa pembatasan yang terlalu ketat justru bisa menjadi bumerang bagi industri Amerika sendiri. “Kita harus berhati-hati agar tidak mengisolasi diri dari pasar terbesar di dunia,” kata Huang. “Jika kita menutup pintu perdagangan, maka perusahaan-perusahaan di AS akan kehilangan pangsa pasar sekaligus momentum inovasi.”
Nvidia selama ini dikenal sebagai pemimpin global dalam pengembangan GPU (graphics processing unit) dan chip AI. Produk mereka menjadi otak di balik berbagai teknologi modern, mulai dari mobil otonom, superkomputer, hingga data center untuk kecerdasan buatan. Namun, dominasi ini mulai mendapat tekanan seiring kemunculan produsen chip China yang kian kompetitif.
Perusahaan seperti Huawei dan Biren Technology mulai meluncurkan chip AI yang mampu menyaingi performa Nvidia, bahkan dalam beberapa kasus menawarkan efisiensi daya yang lebih baik. Meski belum mencapai tingkat keunggulan arsitektur yang dimiliki Nvidia, langkah-langkah inovatif ini menandakan potensi besar di masa depan.
Menurut para analis, keunggulan utama China bukan hanya pada teknologi chip, tetapi juga dalam ekosistem pengembangannya. Ribuan startup AI di negeri itu terus tumbuh dengan dukungan pemerintah, universitas, dan lembaga riset nasional. Hal ini menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi inovasi.
AI kini menjadi medan baru bagi persaingan global. Baik AS maupun China sama-sama berlomba mengembangkan model kecerdasan buatan yang lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih hemat energi. Dalam konteks ini, chip berperan sebagai “bahan bakar” utama.
Nvidia, melalui seri chip H100 dan GH200, telah menguasai sebagian besar pasar chip AI dunia. Namun, langkah cepat China dalam merancang chip dengan performa tinggi menandakan bahwa dominasi ini tidak akan bertahan selamanya.
Huang menambahkan bahwa inovasi kini bukan hanya soal siapa yang lebih cepat, tetapi juga siapa yang memiliki ekosistem teknologi yang paling fleksibel. “Keunggulan bukan hanya ditentukan oleh hardware,” ujarnya. “Kuncinya ada pada kolaborasi antara perangkat keras, perangkat lunak, dan data.”
Dalam menghadapi tekanan dari pasar China dan regulasi AS, Nvidia memilih strategi yang lebih seimbang. Perusahaan ini tetap menjual chip versi khusus ke China untuk menjaga hubungan bisnis, sekaligus berinvestasi besar di Amerika dan Eropa untuk memperkuat rantai pasok.
Langkah tersebut menunjukkan bahwa Nvidia tidak ingin kehilangan pangsa pasar di China, yang menyumbang hampir 20 persen dari total pendapatannya. “China tetap menjadi pasar penting bagi kami,” ujar CEO Nvidia. “Kami berkomitmen untuk mendukung kebutuhan mereka tanpa melanggar peraturan ekspor AS.”
Selain itu, Nvidia juga gencar memperluas kolaborasi global, termasuk dengan perusahaan Jepang dan Korea Selatan, guna menciptakan rantai pasok chip yang lebih tangguh dan beragam. Dengan strategi ini, Nvidia berupaya menjaga posisi sebagai pemimpin pasar sekaligus membangun ketahanan jangka panjang.
Peringatan dari Huang memiliki dampak luas, termasuk bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pasokan chip global yang tidak stabil dapat memengaruhi industri teknologi, otomotif, dan telekomunikasi.
Bagi Indonesia, peluang justru terbuka lebar. Pemerintah bisa memanfaatkan momen ini untuk menarik investasi asing dalam pengembangan pusat data, riset AI, serta fasilitas perakitan chip. Dengan dukungan sumber daya manusia yang kompetitif, Indonesia berpotensi menjadi bagian penting dalam rantai pasok semikonduktor Asia Tenggara.