Zona Populer – Dunia perdagangan internasional kembali diguncang. Donald Trump, mantan Presiden AS yang saat ini sedang bersiap untuk pencalonan kembali di 2024, mengumumkan rencana tarif baru sebesar 41% terhadap produk dari 92 negara. Termasuk di antaranya: India, Kanada, Meksiko, Jerman, dan bahkan beberapa negara sekutu utama AS.
Langkah ini memicu gelombang kekhawatiran dari pelaku bisnis global, investor, hingga pemerintah negara-negara mitra dagang. Namun, di balik sorotan politik dan manuver kampanye, muncul pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang akan menjadi korban utama dari kebijakan tarif kontroversial ini?
Trump dikenal sebagai tokoh politik yang tak segan menerapkan pendekatan agresif terhadap perdagangan internasional. Pada masa jabatan pertamanya, ia sempat memicu “perang dagang” dengan Tiongkok lewat tarif tinggi, menyebabkan gejolak ekonomi global. Kini, dengan rencana tarif flat sebesar 41% untuk produk impor dari 92 negara, Trump mengklaim tujuannya adalah melindungi industri dalam negeri Amerika Serikat dari praktik perdagangan tidak adil.
Namun, para ekonom menyebut kebijakan ini sebagai proteksionisme ekstrem yang dapat menjadi bumerang bagi ekonomi global, termasuk AS sendiri.
Beberapa negara yang termasuk dalam daftar tarif baru tersebut antara lain:
Menariknya, bahkan negara-negara NATO dan sekutu lama AS seperti Jepang dan Korea Selatan dikabarkan tidak sepenuhnya dikecualikan dari daftar ini. Langkah tersebut menimbulkan tanda tanya: apakah Trump sedang menyusun kembali peta ekonomi global versi Amerika First 2.0?
Tarif ini menghantam keras produsen mobil dari Meksiko, Kanada, Jerman, dan Jepang, yang banyak mengekspor suku cadang dan unit kendaraan ke AS. Bahkan General Motors dan Ford yang memiliki pabrik di Meksiko terancam biaya operasional lebih tinggi.
Vietnam, Malaysia, dan Taiwan menjadi eksportir penting untuk produk elektronik konsumen dan komponen semikonduktor. Tarif 41% bisa membuat harga barang seperti laptop, ponsel, dan TV meningkat drastis di pasar AS.
India, sebagai produsen obat generik terbesar dunia, menghadapi tekanan besar. Dengan tarif baru, harga obat di AS bisa melonjak, menyulitkan akses masyarakat terhadap perawatan terjangkau.
baca juga : “Metode Pendidikan Anak untuk Orang Tua Modern“
Beberapa negara telah memberikan sinyal akan melawan kebijakan tarif ini dengan retaliasi dagang. Uni Eropa, misalnya, menyebut langkah ini “tidak berdasar dan tidak sesuai dengan prinsip WTO.” Kanada menyatakan akan “mengambil langkah balasan jika perlu.” India sendiri menyebut tarif ini “menghancurkan hubungan strategis” yang telah dibangun selama beberapa dekade.
Diplomasi perdagangan pun berubah jadi ajang tekanan dan tawar-menawar politik.
Walaupun retorika Trump adalah soal “melindungi pekerja AS,” faktanya justru konsumen domestik berpotensi menjadi korban utama. Mengapa?
Beberapa pakar menyebut skenario ini sebagai “inflasi buatan” yang berasal dari kebijakan pemerintah sendiri, bukan dari pasar global.
Banyak pengamat menilai kebijakan ini lebih condong ke strategi kampanye Trump untuk menggaet pemilih dari kawasan industri yang terpukul globalisasi, seperti Midwest. Dengan mengangkat isu ekonomi nasionalisme dan retorika anti-Cina, Trump mencoba menegaskan kembali identitas “pembela rakyat pekerja”.
Namun apakah kebijakan tersebut benar-benar efektif untuk jangka panjang? Masih menjadi pertanyaan besar.
Bank Dunia dan IMF memberi peringatan bahwa kebijakan dagang sepihak dari AS bisa:
Artinya, AS sendiri bisa tertinggal dari arsitektur ekonomi global baru jika terlalu agresif memaksakan kebijakan unilateral.