Zona Populer – Mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair dikabarkan tengah menyiapkan langkah besar untuk kembali berperan dalam kancah politik internasional. Ia disebut-sebut berambisi memimpin Pemerintahan Transisi Gaza pascaperang yang telah menghancurkan wilayah tersebut. Kabar ini muncul dari laporan berbagai media internasional, termasuk The Guardian, Times of Israel, hingga Financial Times, yang menyebut bahwa Amerika Serikat memberikan dukungan pada rencana tersebut.
Menurut laporan yang beredar, Blair akan memimpin sebuah badan baru bernama Otoritas Transisi Internasional Gaza atau disingkat GITA. Badan ini digagas sebagai otoritas politik dan hukum tertinggi di Gaza untuk masa transisi yang diproyeksikan berlangsung lima tahun.
Skema ini disebut terinspirasi dari pengalaman sebelumnya ketika komunitas internasional membentuk pemerintahan transisi di Timor Leste dan Kosovo, sebelum wilayah-wilayah tersebut bertransformasi menuju status kenegaraan penuh. Dengan model serupa, GITA diharapkan mampu mengawasi proses rekonstruksi Gaza, sekaligus menata kembali pemerintahan sipil.
Awalnya, GITA akan berkantor di El-Arish, Mesir, yang berbatasan langsung dengan Gaza di bagian selatan. Kehadiran badan ini nantinya akan diperkuat pasukan internasional dengan dukungan PBB. Seiring berjalannya waktu, GITA perlahan akan masuk ke wilayah Gaza dan mulai menjalankan fungsinya secara langsung.
Keterlibatan Tony Blair dalam rencana ini disebut tak lepas dari dukungan kuat Amerika Serikat. Washington memandang perlunya sosok dengan pengalaman internasional dan jaringan diplomasi yang luas untuk memimpin proses transisi.
Media Financial Times melaporkan bahwa AS bahkan membawa ide ini ke forum Majelis Umum PBB baru-baru ini, dengan menempatkan Blair sebagai salah satu kandidat utama pemimpin dewan pengawas internasional untuk Gaza.
Selain itu, negara-negara Teluk dikabarkan siap membantu pendanaan operasional GITA, termasuk menyediakan anggaran bagi sekretariat dengan jumlah staf sekitar 25 orang. Dukungan finansial dari negara-negara kaya minyak tersebut dipandang krusial agar lembaga transisi ini bisa bekerja efektif tanpa tergantung sepenuhnya pada negara Barat.
Baca Juga : “Manfaat Aktivitas Fisik bagi Anak Pondasi Tumbuh Kembang yang Sehat“
Mandat utama GITA adalah memimpin rekonstruksi Gaza pascaperang. Namun, di balik itu terdapat misi jangka panjang untuk menyatukan kembali Gaza dan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina (PA).
Saat ini, Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah hanya memiliki wewenang terbatas di Tepi Barat, sementara Gaza dikuasai penuh oleh Hamas sebelum perang pecah. Israel sendiri tetap memegang kendali dominan atas berbagai aspek kehidupan warga Palestina, yang oleh banyak pihak dikritik sebagai bentuk apartheid modern.
Dengan adanya pemerintahan transisi, komunitas internasional berharap tercipta jalur baru menuju penyelesaian konflik. Blair menilai, proses transisi ini bisa membuka peluang rekonsiliasi internal Palestina sekaligus menghidupkan kembali negosiasi politik yang selama ini mandek.
Meski mendapat sorotan luas, rencana Tony Blair ini bukan tanpa kontroversi. Sejumlah pihak meragukan implementasi di lapangan, terutama karena sikap Israel yang selama ini menolak peran Otoritas Palestina dalam mengelola Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan besar dari koalisi sayap kanan di pemerintahannya. Banyak menteri garis keras mendesaknya untuk justru mencaplok seluruh wilayah Palestina, termasuk Gaza dan Tepi Barat, daripada menyerahkan kendali kepada otoritas internasional. Kondisi ini membuat para analis skeptis bahwa Israel akan menyetujui penuh ide pembentukan GITA.
Selain Israel, beberapa negara Arab juga menyampaikan keberatan. Mereka lebih mendukung opsi pemerintahan teknokrat Palestina ketimbang dipimpin oleh sosok asing seperti Blair. Argumen mereka sederhana: Gaza adalah tanah Palestina, dan hanya warga Palestina yang berhak menentukan masa depannya.
Upaya Blair bukan sekadar wacana. Media Times of Israel menyebut ia sudah melakukan lobi intensif sejak pertengahan tahun 2025. Blair dilaporkan bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Juli lalu untuk membicarakan rencananya.
Selain itu, ia juga melakukan komunikasi dengan berbagai pihak internasional, termasuk Donald Trump, yang kini kembali menjadi Presiden Amerika Serikat. Lobi-lobi ini menunjukkan keseriusan Blair dalam mengamankan dukungan politik dari berbagai aktor global.
Namun, tantangan besar tetap ada. Menurut laporan The Economist, proposal Blair menuntut adanya “reformasi signifikan” dalam tubuh Otoritas Palestina. Artinya, sebelum GITA bisa berjalan efektif, diperlukan pembenahan internal yang tidak sederhana.
Nama Tony Blair sendiri bukanlah sosok asing dalam politik global. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris selama satu dekade, dari 1997 hingga 2007, dan dikenal sebagai salah satu tokoh sentral dalam intervensi militer di Irak tahun 2003 bersama Amerika Serikat.
Pengalaman panjangnya dalam diplomasi internasional membuat sebagian pihak percaya Blair bisa memainkan peran penting di Gaza. Namun, catatan masa lalunya yang penuh kontroversi, terutama terkait perang Irak, juga menjadi alasan skeptisisme dari banyak kalangan.
Bagi pendukungnya, Blair adalah figur berpengalaman dengan kemampuan negosiasi tinggi. Sedangkan bagi para pengkritik, ia dianggap sebagai simbol keterlibatan Barat yang justru memperumit konflik di Timur Tengah.
Jika benar-benar terealisasi, Pemerintahan Transisi Gaza akan menjadi eksperimen besar dalam tata kelola internasional. Dengan mandat lima tahun, badan ini diharapkan mampu mengembalikan stabilitas, memperbaiki infrastruktur, serta membuka jalur politik yang lebih inklusif bagi rakyat Palestina.
Namun, jalan menuju realisasi rencana ini masih panjang. Tantangan politik, keberatan dari pihak Israel, penolakan sebagian negara Arab, hingga skeptisisme publik internasional menjadi faktor-faktor yang bisa menggagalkan ide tersebut.
Meski demikian, inisiatif Blair telah membuka diskusi global mengenai masa depan Gaza pascaperang. Perdebatan tentang siapa yang paling berhak dan paling mampu mengelola wilayah tersebut kini menjadi isu hangat di kancah diplomasi internasional.