Zona Populer – Pendapatan para wakil rakyat kembali menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak, di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan, muncul kabar bahwa Rakyat Cuma Bisa Gigit Jari, Gaji DPR Rp 100 Juta Plus Pajak Gratis. Informasi ini sontak memicu reaksi beragam, mulai dari rasa heran, kecewa, hingga kritik tajam yang membandingkan kehidupan mewah anggota legislatif dengan keseharian masyarakat biasa yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
Besaran gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan. Setiap bulannya, seorang anggota DPR disebut-sebut bisa menerima penghasilan hingga Rp 100 juta lebih, termasuk tunjangan, fasilitas, dan berbagai bentuk insentif lainnya. Yang membuat publik semakin terkejut adalah adanya klaim bahwa sebagian dari pendapatan tersebut bahkan tidak terkena potongan pajak sebagaimana gaji pegawai biasa.
Bagi rakyat kecil yang harus menyisihkan penghasilan mereka setiap bulan untuk pajak, potongan BPJS, hingga biaya hidup yang terus meroket, perbandingan ini jelas terasa begitu timpang. Tidak heran bila muncul ungkapan sarkastis bahwa rakyat hanya bisa “gigit jari” melihat kenyamanan hidup para pejabat negara.
Situasi ekonomi saat ini membuat banyak masyarakat harus hidup lebih hemat. Harga kebutuhan pokok naik, biaya pendidikan meningkat, dan biaya kesehatan pun terus menekan dompet keluarga. Di sisi lain, banyak pekerja masih menerima upah minimum yang berkisar antara Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per bulan, bahkan di beberapa daerah nilainya lebih rendah.
Bandingkan dengan gaji anggota DPR yang bisa mencapai lebih dari 20 kali lipat dari upah rata-rata pekerja, dengan fasilitas tambahan berupa rumah dinas, mobil dinas, hingga tunjangan perjalanan. Ketimpangan inilah yang menimbulkan perasaan tidak adil.
Kabar mengenai pajak gratis yang diberikan kepada anggota DPR menambah panjang daftar pertanyaan publik. Sebab, pajak adalah kewajiban setiap warga negara, termasuk pejabat negara. Jika benar sebagian gaji anggota DPR tidak dikenai pajak, wajar bila masyarakat mempertanyakan keadilan sistem perpajakan di Indonesia.
Bayangkan, seorang karyawan swasta dengan gaji Rp 10 juta saja sudah harus rela gajinya dipotong pajak penghasilan (PPh). Namun, wakil rakyat yang menerima 10 kali lipat gaji justru bisa terbebas dari kewajiban serupa. Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika rakyat menuntut transparansi, sementara beban ekonomi semakin berat.
Dari sisi pemerintah maupun DPR, biasanya ada alasan khusus mengapa gaji anggota legislatif terkesan fantastis. Salah satunya adalah untuk menjaga integritas para pejabat agar tidak tergoda melakukan praktik korupsi. Dengan gaji yang besar, diharapkan mereka bisa bekerja fokus demi kepentingan rakyat.
Namun, argumentasi ini kerap terbantahkan oleh fakta di lapangan. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan tetap marak terjadi, meski gaji mereka sudah sangat tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah benar besaran gaji mampu menjamin integritas dan etika seorang pejabat?
Ketika rakyat mendengar kabar tentang gaji fantastis DPR, efek psikologis yang muncul biasanya berupa rasa kecewa dan marah. Di tengah situasi di mana banyak orang masih kesulitan mencari kerja, atau bahkan harus bertahan hidup dengan penghasilan pas-pasan, mengetahui bahwa wakil rakyat hidup begitu nyaman justru melukai rasa keadilan.
Perasaan ini diperparah dengan fakta bahwa banyak kebijakan yang dihasilkan DPR sering kali tidak langsung menyentuh kebutuhan mendesak masyarakat kecil. Bukannya fokus pada kesejahteraan rakyat, pembahasan di parlemen justru sering diwarnai isu-isu politik yang jauh dari kepentingan publik.
baca juga : “Teknologi Modern dan Karakter Anak: Harmoni atau Tantangan?“
Fenomena gaji besar DPR dengan pajak gratis mempertegas kesenjangan sosial yang sudah lama dirasakan di Indonesia. Kesenjangan ini bukan hanya tentang perbedaan penghasilan, melainkan juga akses terhadap fasilitas dan hak istimewa.
Anggota DPR tidak hanya menerima gaji tinggi, tetapi juga mendapat berbagai fasilitas seperti asuransi kesehatan kelas atas, biaya perjalanan dinas, bahkan dana reses yang jumlahnya besar. Sementara rakyat kecil, untuk sekadar mendapatkan pelayanan kesehatan layak saja sering kali harus menunggu antrean panjang atau terbebani biaya tambahan.
Melihat ketimpangan ini, banyak pihak mendorong adanya reformasi sistem penggajian pejabat negara. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:
Masyarakat kini semakin kritis dan menuntut perubahan. Media sosial dipenuhi komentar yang mempertanyakan keadilan sistem penggajian anggota DPR. Ungkapan “wakil rakyat” seolah menjadi ironi ketika kesejahteraan yang mereka nikmati justru jauh berbeda dari rakyat yang diwakilinya.
Ketika rakyat hanya bisa “gigit jari”, seharusnya para pejabat menyadari bahwa kepercayaan publik adalah modal utama mereka. Tanpa dukungan rakyat, jabatan hanyalah formalitas tanpa legitimasi moral.
Pada akhirnya, kabar bahwa Rakyat Cuma Bisa Gigit Jari, Gaji DPR Rp 100 Juta Plus Pajak Gratis menjadi cerminan betapa sensitifnya isu kesejahteraan pejabat di mata masyarakat. Di tengah ketimpangan sosial yang nyata, isu ini menambah luka kolektif publik yang merasa diperlakukan tidak adil.
Rakyat bukan menolak pejabat mendapat gaji layak, tetapi yang dipersoalkan adalah keadilan dan transparansi. Selama masih ada ketidakjelasan mengenai potongan pajak dan tunjangan berlebih, selama itu pula kritik akan terus mengalir.