Zona Populer – Konflik berkepanjangan di Gaza kembali memanas ke titik yang mengkhawatirkan. Dunia menyaksikan dengan ngeri saat situasi di Jalur Gaza memasuki babak baru yang lebih brutal. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan keinginannya untuk mengambil alih penuh wilayah Gaza, memicu kekhawatiran akan perluasan perang dan eskalasi kekerasan yang lebih luas di Timur Tengah.
Dalam beberapa pekan terakhir, serangan udara, artileri, dan invasi darat terus dilancarkan oleh militer Israel, menghantam berbagai wilayah Gaza, termasuk area pemukiman padat penduduk, rumah sakit, hingga tempat pengungsian. Sementara itu, kelompok Hamas dan faksi perlawanan Palestina lainnya tak tinggal diam, terus meluncurkan roket ke arah wilayah Israel. Situasi ini memperparah krisis kemanusiaan yang sudah sangat buruk.
Pernyataan Netanyahu tentang niatnya untuk menguasai penuh Jalur Gaza bukan hanya retorika perang. Dalam berbagai pidatonya, ia menyebut bahwa solusi satu-satunya untuk menghentikan ancaman dari Gaza adalah dengan “menghancurkan infrastruktur Hamas secara permanen”, yang berarti menghapus kendali kelompok tersebut atas wilayah itu.
Namun, langkah tersebut dipandang oleh banyak pihak sebagai bentuk pendudukan total yang akan memicu konsekuensi lebih dalam — tidak hanya untuk rakyat Palestina, tetapi juga untuk stabilitas kawasan dan reputasi Israel di mata internasional.
Beberapa pengamat politik menilai bahwa langkah ini juga merupakan bagian dari agenda politik dalam negeri Netanyahu. Dengan tekanan dari partai sayap kanan ekstremis dalam koalisi pemerintahannya, Netanyahu menghadapi desakan untuk mengambil langkah drastis demi mempertahankan kekuasaan. Sayangnya, yang menjadi korban dari konflik kekuasaan ini adalah rakyat sipil tak berdosa di Gaza.
Data dari organisasi internasional dan media lokal menyebutkan bahwa jumlah korban jiwa terus meningkat secara drastis. Hingga awal Agustus 2025, lebih dari 39.000 warga Palestina dilaporkan tewas, dan lebih dari 85.000 orang terluka — mayoritas dari mereka adalah wanita dan anak-anak.
Gaza, yang kini sebagian besar menjadi puing-puing, menghadapi krisis kemanusiaan besar. Rumah sakit kewalahan, tidak ada cukup obat-obatan, air bersih, atau listrik. Banyak jenazah belum bisa dievakuasi karena masih tertimbun reruntuhan bangunan.
Sementara itu, Israel juga mengalami korban jiwa dari serangan roket balasan Hamas dan konfrontasi di perbatasan. Namun jumlahnya tidak sebanding dengan kehancuran yang dialami Gaza. Kondisi ini semakin memperkuat pandangan internasional bahwa terjadi ketidakseimbangan kekuatan dan korban dalam perang ini.
PBB, Uni Eropa, hingga negara-negara besar seperti Prancis, Jerman, dan sebagian negara Amerika Latin telah mengecam keras tindakan Israel, terutama setelah pernyataan Netanyahu yang berniat mengambil alih penuh Gaza. Namun, kecaman tersebut masih belum diikuti dengan tindakan nyata.
Amerika Serikat, yang selama ini menjadi sekutu utama Israel, berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, pemerintahan AS mendapat tekanan dari dalam negeri untuk menekan Israel agar menghentikan serangan, namun di sisi lain, mereka tetap memberikan bantuan militer dan diplomatik.
Organisasi HAM seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah menyerukan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh kedua belah pihak, namun hingga kini belum ada mekanisme konkret untuk akuntabilitas.
Rakyat Gaza yang tersisa hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Mereka tidak hanya menghadapi ancaman bom dan peluru, tetapi juga kelaparan, penyakit, dan trauma berkepanjangan. Lebih dari 1,8 juta warga Gaza telah mengungsi. Banyak di antaranya kehilangan keluarga, tempat tinggal, dan masa depan.
Seorang warga Gaza yang diwawancarai media asing mengatakan, “Kami sudah tidak tahu ke mana harus pergi. Tidak ada tempat yang aman. Bahkan sekolah dan rumah ibadah pun dibom. Kami hanya berharap dunia membuka mata dan menghentikan penderitaan ini.”
Gambaran nyata ini menunjukkan bahwa perang bukan lagi soal militer vs militer, tetapi telah berubah menjadi pembantaian terhadap rakyat sipil.
Krisis ini juga memunculkan kembali perdebatan tentang solusi dua negara antara Israel dan Palestina. Banyak pihak kini mulai pesimis bahwa solusi ini masih mungkin dilakukan, terutama jika Israel benar-benar merealisasikan ambisinya untuk menguasai penuh Gaza.
Jika wilayah Gaza dijadikan bagian dari wilayah kekuasaan Israel secara de facto, maka kemungkinan lahirnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat akan sirna. Hal ini akan meninggalkan luka geopolitik berkepanjangan dan memperkuat radikalisasi di wilayah lain.
baca juga : “Mendukung Fashion Anak Bukan Sekadar Gaya, tapi Ekspresi Diri“
Konflik yang memanas ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga mengguncang perekonomian global. Harga minyak dunia mulai naik tajam karena kekhawatiran akan konflik yang meluas ke Lebanon, Suriah, bahkan Iran. Ketegangan juga meningkat di kawasan Laut Merah dan Terusan Suez, yang menjadi jalur penting perdagangan global.
Selain itu, gelombang solidaritas untuk Palestina juga meningkat di berbagai negara, terutama negara-negara berpenduduk Muslim. Demonstrasi besar-besaran terjadi di Indonesia, Turki, Malaysia, hingga Inggris dan Amerika Serikat, menuntut pemerintah mereka mengambil sikap tegas terhadap Israel.
Di tengah kekacauan ini, masih ada secercah harapan. Organisasi-organisasi kemanusiaan seperti UNRWA, Palang Merah Internasional, hingga kelompok relawan lokal terus berusaha menyalurkan bantuan, meski seringkali terhambat oleh blokade dan serangan.
PBB juga sedang mencoba membentuk koridor kemanusiaan, meskipun masih menghadapi tantangan dari pihak Israel dan kondisi lapangan yang sangat berbahaya.
Namun semua upaya ini hanya akan efektif jika gencatan senjata permanen benar-benar tercapai — dan itu berarti komunitas internasional harus bersatu, tidak hanya bersuara, tetapi juga bertindak nyata.
Perang Gaza yang semakin menggila bukan lagi konflik biasa. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang diperburuk oleh ambisi politik dan kebisuan dunia. Niat Netanyahu untuk menguasai penuh wilayah Gaza menjadi titik kritis yang bisa memicu perang regional lebih luas, bahkan memperburuk ketegangan global.
Jika dunia terus menutup mata, maka yang akan tertinggal hanya puing-puing kemanusiaan, luka sejarah yang dalam, dan generasi yang tumbuh tanpa harapan.
Saatnya dunia tidak hanya mengecam, tapi bergerak untuk menghentikan kekerasan ini. Karena yang sedang terjadi di Gaza bukan hanya soal wilayah, tapi soal hak hidup manusia.