Zona Populer – Situasi politik di Nepal kembali memanas setelah serangkaian demonstrasi besar-besaran mengguncang ibu kota. Pemerintahan Nepal Ambruk menjadi sorotan internasional usai ribuan warga turun ke jalan menuntut reformasi politik, pembubaran parlemen, hingga mengejar sejumlah pejabat tinggi yang dianggap gagal mengelola negara. Insiden paling mengejutkan terjadi ketika gedung DPR Nepal dibakar massa pada Rabu malam, meninggalkan puing-puing serta simbol runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Krisis ini bermula dari ketidakpuasan masyarakat terhadap stagnasi ekonomi, tingginya angka pengangguran, dan tuduhan korupsi yang mengakar di tubuh pemerintahan. Ratusan mahasiswa, aktivis, hingga kelompok buruh bersatu menggelar aksi di berbagai titik di Kathmandu. Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan setelah aparat keamanan mencoba membubarkan massa dengan gas air mata.
Bentrok pun pecah, memicu kemarahan publik yang semakin besar. Ribuan orang kemudian menyerbu gedung DPR, menghancurkan fasilitas, dan membakar sebagian ruangan sebagai bentuk perlawanan. Polisi yang berjaga kewalahan, hingga beberapa pejabat parlemen terpaksa dievakuasi lewat jalur rahasia.
Selain penyerangan terhadap gedung DPR, sejumlah menteri menjadi target amarah publik. Laporan lokal menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri serta Menteri Keuangan nyaris menjadi korban amukan massa yang mengepung kediaman mereka. Pasukan keamanan dengan susah payah mengevakuasi kedua menteri tersebut menggunakan kendaraan lapis baja.
Sementara itu, Perdana Menteri Nepal disebut telah mengungsi ke lokasi rahasia. Ketidakjelasan kepemimpinan membuat situasi politik semakin kacau. Banyak pengamat menilai, keruntuhan ini menjadi krisis politik paling parah sejak Nepal bertransisi menjadi republik.
Baca Juga : “Game Edukasi Anak: Mengubah Waktu Layar Menjadi Investasi“
Para analis politik menyebut ada tiga faktor utama yang mempercepat kehancuran ini. Pertama, lemahnya stabilitas ekonomi yang membuat masyarakat sulit bertahan hidup di tengah inflasi tinggi. Kedua, konflik internal antarpartai yang terus-menerus membuat kebijakan nasional mandek. Ketiga, merosotnya kepercayaan publik akibat skandal korupsi yang menyeret banyak pejabat.
Di sisi lain, masyarakat Nepal merasa sudah terlalu lama menanggung beban ketidakadilan. Isu pemerataan pembangunan yang timpang antara wilayah perkotaan dan pedesaan turut memperkuat alasan rakyat untuk melawan.
Kondisi darurat di Nepal segera menarik perhatian dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan keprihatinan mendalam dan menyerukan dialog damai antara pemerintah dan oposisi. India dan Tiongkok, dua negara tetangga yang memiliki kepentingan strategis di Nepal, turut menyuarakan keprihatinan dan menawarkan bantuan mediasi.
Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa situasi akan mereda. Akses komunikasi di beberapa wilayah Kathmandu dilaporkan dibatasi untuk mencegah penyebaran informasi provokatif. Meski begitu, rekaman video kerusuhan sudah tersebar luas di media sosial, memicu gelombang simpati dan kemarahan dari komunitas internasional.
Ambruknya pemerintahan secara tiba-tiba membuat perekonomian Nepal lumpuh. Banyak toko, pasar, hingga perbankan tutup sementara karena takut jadi sasaran amukan. Sektor pariwisata, yang menjadi tulang punggung ekonomi Nepal, juga terkena imbas besar karena ribuan wisatawan asing memilih meninggalkan negara itu lebih awal.
Dari sisi sosial, ketidakpastian politik memicu gelombang pengungsian. Warga di sekitar Kathmandu mulai mencari tempat aman di luar kota, sementara beberapa kelompok masyarakat membentuk barikade untuk melindungi wilayah mereka.
Meski belum ada deklarasi resmi, muncul wacana pembentukan pemerintahan darurat sementara yang akan dijalankan oleh koalisi oposisi. Beberapa tokoh senior militer bahkan disebut siap turun tangan untuk menstabilkan keadaan jika situasi tidak terkendali.
Banyak pihak menilai, peristiwa ini bisa menjadi titik balik sejarah Nepal. Jika transisi darurat mampu dijalankan dengan baik, ada peluang bagi negeri Himalaya itu untuk membangun sistem politik yang lebih transparan dan demokratis. Namun, jika gagal, krisis ini dikhawatirkan akan menyeret Nepal ke dalam kekacauan berkepanjangan.
Dalam berbagai wawancara dengan media lokal, rakyat menyuarakan rasa kecewa mendalam terhadap elit politik yang dianggap hanya memikirkan kepentingan pribadi. Mereka menegaskan bahwa aksi bakar gedung DPR bukan sekadar tindakan anarkis, melainkan simbol perlawanan terhadap sistem yang bobrok.
Seorang mahasiswa berusia 22 tahun mengatakan, “Kami sudah lelah dijanjikan perubahan, tetapi tidak ada yang berubah. Ini saatnya rakyat mengambil alih masa depan Nepal.”
Menurut pengamat regional, kondisi Nepal bisa menjadi peringatan bagi negara-negara lain di kawasan Asia Selatan. Krisis politik yang dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi nyata hanya akan menimbulkan kehancuran. Mereka menekankan bahwa kasus Pemerintahan Nepal Ambruk harus dijadikan pelajaran penting mengenai pentingnya stabilitas politik dan kepercayaan publik.
Selain itu, pengamat menilai, jika elite politik Nepal gagal menyusun konsensus, maka peran militer akan semakin dominan. Hal ini berisiko membawa Nepal kembali ke era pemerintahan otoriter, sesuatu yang dihindari rakyat setelah perjuangan panjang menuju demokrasi.