Zona Populer – Ketegangan geopolitik kembali memanas di kawasan Asia Timur setelah sebuah kapal perang sekutu melakukan Lintas Selat Taiwan pada awal September 2025. Insiden ini sontak memicu reaksi keras dari Beijing yang menilai langkah tersebut sebagai provokasi terang-terangan terhadap kedaulatan Tiongkok. Sementara itu, pihak sekutu berdalih bahwa misi tersebut adalah bagian dari operasi kebebasan navigasi di wilayah perairan internasional.
Beijing menegaskan bahwa perairan di sekitar Taiwan adalah bagian dari yurisdiksi mereka. Oleh karena itu, setiap manuver kapal asing, terutama kapal militer, dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan. Sebaliknya, Washington dan sekutunya menekankan bahwa Selat Taiwan adalah jalur perairan internasional yang sah untuk dilintasi siapa pun. Perbedaan sudut pandang inilah yang membuat kawasan tersebut menjadi salah satu titik panas geopolitik global.
Kementerian Pertahanan Tiongkok segera mengeluarkan pernyataan resmi beberapa jam setelah insiden terjadi. Dalam rilis tersebut, Beijing menyebut langkah sekutu sebagai “tindakan berbahaya yang merusak stabilitas kawasan.” Pasukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) bahkan mengklaim telah mengerahkan kapal patroli dan pesawat tempur untuk mengawasi pergerakan kapal asing tersebut.
“Tidak ada yang boleh meremehkan tekad dan kemampuan Tiongkok dalam menjaga kedaulatan nasionalnya. Segala bentuk provokasi akan dibalas dengan tindakan yang setimpal,” demikian kutipan dari juru bicara PLA.
Nada keras ini bukan hal baru. Setiap kali ada kapal sekutu yang melakukan lintasan, Beijing hampir selalu bereaksi dengan pernyataan keras, latihan militer mendadak, hingga simulasi blokade terhadap Taiwan. Namun, kali ini ketegangan semakin menajam karena dilakukan di tengah meningkatnya rivalitas militer dan diplomasi antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Baca Juga : “Daya Tahan Tubuh Anak: Fondasi Kesehatan yang Kuat“
Sementara itu, pihak sekutu menyatakan bahwa operasi ini adalah bagian dari komitmen menjaga keterbukaan jalur laut internasional. “Selat Taiwan adalah jalur vital perdagangan global. Tidak ada negara yang bisa mengklaim kepemilikan penuh atas perairan tersebut,” ujar perwakilan militer Amerika Serikat.
Pernyataan ini mencerminkan sikap konsisten sekutu yang menolak klaim sepihak Beijing atas wilayah maritim di Asia Timur. Dalam konteks hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), Selat Taiwan memang dianggap sebagai bagian dari laut lepas yang dapat digunakan untuk kepentingan pelayaran internasional.
Namun, Tiongkok menolak pandangan tersebut. Menurut mereka, UNCLOS tidak bisa dijadikan pembenaran atas kehadiran militer asing di dekat wilayah yang mereka klaim sebagai bagian dari kedaulatannya.
Di sisi lain, Taiwan kembali menjadi pihak yang paling terdampak. Pemerintah Taipei menyambut baik kehadiran kapal sekutu dengan menyebutnya sebagai “dukungan nyata terhadap stabilitas kawasan.” Namun, bagi masyarakat Taiwan, manuver seperti ini selalu menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi, kehadiran sekutu memberi rasa aman, seolah ada tameng yang melindungi mereka dari potensi agresi militer Tiongkok. Namun di sisi lain, setiap kali terjadi insiden seperti Lintas Selat Taiwan, risiko eskalasi konflik selalu menghantui. Bagi warga sipil, hal ini berarti ketidakpastian ekonomi, keamanan, dan masa depan.
Manuver kapal sekutu ini bukan sekadar peristiwa lokal, melainkan isu strategis yang berimplikasi global. Selat Taiwan adalah salah satu jalur perdagangan paling sibuk di dunia. Diperkirakan lebih dari 50% kapal kargo besar dunia melewati jalur ini setiap tahunnya. Jika konflik pecah, dampaknya tidak hanya dirasakan di Asia, tetapi juga di Eropa dan Amerika.
Ekonomi global bisa terguncang, terutama di sektor teknologi. Taiwan adalah rumah bagi perusahaan semikonduktor terbesar dunia, TSMC, yang memproduksi chip untuk hampir semua perangkat elektronik modern. Jika ketegangan meningkat dan memengaruhi jalur logistik, pasokan chip dunia bisa terancam.
Sejumlah negara memberikan tanggapan atas insiden terbaru ini. Jepang dan Korea Selatan menyatakan keprihatinan dan menyerukan agar semua pihak menahan diri. Uni Eropa menegaskan pentingnya menjaga jalur perdagangan tetap aman dan bebas dari gangguan.
Di sisi lain, Rusia mendukung posisi Beijing dengan menyebut langkah sekutu sebagai “provokasi militer.” Dukungan ini semakin mempertegas terbentuknya poros geopolitik baru antara Tiongkok dan Rusia yang menantang dominasi Barat.
Pengamat geopolitik menilai insiden Lintas Selat Taiwan kali ini menambah daftar panjang friksi antara Tiongkok dan sekutu Barat. Menurut mereka, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: bagaimana masa depan Selat Taiwan? Para analis memperkirakan bahwa ketegangan ini akan terus berlanjut, bahkan mungkin meningkat dalam beberapa tahun mendatang.
Selama Tiongkok bersikeras mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, dan sekutu Barat terus mendukung Taipei, maka Selat Taiwan akan tetap menjadi salah satu titik panas dunia.
Beberapa skenario kemungkinan terjadi:
Status Quo Berlanjut: Yang paling mungkin adalah situasi seperti sekarang, di mana ketegangan terus ada, namun tidak sampai pecah menjadi perang terbuka.
Diplomasi Intensif: Jika semua pihak bersedia duduk bersama, ada peluang untuk mengurangi ketegangan, meski tidak menyelesaikan akar masalah.
Konflik Terbuka: Jika salah satu pihak kehilangan kesabaran, konfrontasi militer bisa pecah.