
Zona Populer – Dalam beberapa tahun terakhir, dunia politik Indonesia seakan kehilangan semangat pembaruan dan keberanian untuk berimajinasi. Fenomena ini dikenal sebagai Krisis Imajinasi Politik, di mana para pemimpin dan aktor politik tampak lebih sibuk mempertahankan kekuasaan daripada menghadirkan ide-ide segar untuk masa depan bangsa. Ketika politik kehilangan daya imajinatifnya, arah pembangunan dan kebijakan pun menjadi stagnan—tak lagi berorientasi pada cita-cita besar, melainkan sekadar rutinitas administratif belaka.
Politik seharusnya menjadi ruang kreatif untuk memperjuangkan visi dan nilai yang lebih baik bagi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, banyak politisi kini terjebak dalam pragmatisme. Fokus mereka bergeser dari gagasan ke strategi elektoral; dari cita-cita perubahan ke sekadar perhitungan kekuasaan. Akibatnya, publik disuguhi drama politik yang monoton dan minim terobosan.
Kondisi ini menimbulkan kejenuhan di masyarakat. Rakyat mulai sulit menemukan figur atau partai yang benar-benar membawa harapan baru. Isu-isu penting seperti perubahan iklim, digitalisasi, dan kesetaraan sosial jarang dibahas secara mendalam. Semua berlomba menunjukkan citra populis, tapi miskin gagasan mendasar. Di sinilah gejala Krisis Imajinasi Politik semakin tampak nyata.
Sejarah bangsa Indonesia pernah menunjukkan bahwa imajinasi politik mampu melahirkan perubahan besar. Dari Sumpah Pemuda hingga Proklamasi, semua berakar pada keberanian untuk bermimpi dan berpikir di luar kebiasaan. Namun, kini, imajinasi itu seperti memudar. Politik tak lagi menjadi wahana ideologis, tetapi arena transaksional yang dingin.
Kritikus politik menilai, lemahnya daya imajinatif ini berakar dari sistem politik yang terlalu menekankan stabilitas ketimbang inovasi. Partai-partai besar enggan mengambil risiko ideologis. Mereka cenderung memelihara status quo demi mempertahankan dukungan. Padahal, tanpa keberanian untuk berpikir di luar pola lama, bangsa ini sulit menghadirkan kebijakan yang relevan dengan tantangan zaman.
Dalam konteks ini, media dan masyarakat memiliki peran penting untuk menghidupkan kembali ruang dialog dan pemikiran kritis. Media massa perlu keluar dari pola pemberitaan yang hanya menyorot konflik dan sensasi politik. Sebaliknya, media harus menjadi ruang bagi perdebatan ide, riset kebijakan, dan refleksi masa depan.
Publik pun dapat berperan dengan lebih aktif—tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga peserta dalam proses politik. Ruang digital bisa dimanfaatkan untuk mendorong diskusi substantif, bukan sekadar perang opini di media sosial. Pendidikan politik yang membangun kesadaran kritis perlu diperkuat agar masyarakat dapat menilai gagasan, bukan hanya figur.
Setiap bangsa membutuhkan pemimpin dengan visi yang melampaui situasi kekinian. Kepemimpinan seperti ini tidak cukup hanya dengan kemampuan manajerial atau retorika politik. Ia membutuhkan imajinasi—kemampuan membayangkan masa depan yang berbeda dan meyakinkan orang lain untuk berjalan ke arah itu.
Di tengah Krisis Imajinasi Politik, Indonesia membutuhkan sosok-sosok yang berani merancang masa depan yang inklusif, hijau, dan berbasis pengetahuan. Para pemimpin baru seharusnya berani meninggalkan narasi lama yang hanya berkisar pada pembangunan fisik atau simbol nasionalisme sempit. Imajinasi politik baru harus mampu menggabungkan inovasi teknologi dengan keadilan sosial, serta keberlanjutan lingkungan dengan kemajuan ekonomi.
Pendidikan politik tidak hanya harus terjadi di ruang partai atau parlemen, tetapi juga di sekolah dan ruang publik. Sistem pendidikan yang menekankan hafalan dan kepatuhan tanpa ruang berpikir kritis akan melahirkan generasi apolitis—generasi yang sulit membayangkan perubahan. Oleh karena itu, revitalisasi sistem pendidikan dan budaya membaca menjadi kunci membangun kembali daya imajinatif bangsa.
Kebudayaan juga memainkan peran vital dalam menghidupkan politik yang berjiwa. Melalui film, sastra, teater, dan seni rupa, masyarakat bisa diajak membayangkan masa depan yang lebih manusiawi. Seni adalah medium yang dapat membuka horizon berpikir, yang pada akhirnya memperkaya narasi politik nasional.
Bila ditelaah lebih dalam, Krisis Imajinasi Politik sejatinya merupakan refleksi dari krisis kepemimpinan. Banyak pemimpin lahir dari sistem yang menekankan loyalitas, bukan kapasitas. Akibatnya, mereka cenderung bermain aman dan enggan menantang arus besar. Dalam situasi seperti ini, politik hanya berjalan sebagai formalitas—tanpa ruh perubahan.
Namun, di tengah keterbatasan itu, masih ada ruang untuk harapan. Generasi muda kini mulai menunjukkan ketertarikan pada politik berbasis gagasan. Muncul banyak komunitas yang membahas kebijakan publik, isu lingkungan, dan kesetaraan gender dengan pendekatan kreatif. Inilah benih-benih imajinasi politik baru yang harus terus disirami.
Untuk keluar dari krisis ini, kita perlu mengembalikan politik kepada hakikatnya: sebagai sarana memperjuangkan kemanusiaan. Politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan ruang kolektif untuk bermimpi dan bekerja bersama demi kebaikan bersama. Membangun imajinasi politik berarti membangun kembali kepercayaan bahwa masa depan bisa lebih baik dari hari ini.
Politik yang berjiwa imajinatif tidak lahir dari elite semata, tetapi dari interaksi terus-menerus antara ide, masyarakat, dan realitas. Dibutuhkan keberanian untuk berpikir besar dan ketekunan untuk mewujudkannya dalam kebijakan nyata. Dengan demikian, bangsa ini bisa keluar dari Krisis Imajinasi Politik dan melangkah menuju era politik yang lebih visioner, inklusif, dan berkeadilan.