Zona Populer – Tahun 2025 diawali dengan berbagai dinamika sosial dan politik yang semakin panas. Berbagai kota besar di Indonesia hingga ke daerah-daerah tengah diguncang oleh aksi massa dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemicu utama dari berbagai gelombang protes tersebut adalah Ketidakadilan Ekonomi yang dirasakan semakin tajam oleh berbagai lapisan masyarakat.
Masyarakat menilai kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin kian melebar. Harga kebutuhan pokok melonjak, sementara daya beli masyarakat justru menurun. Lapisan menengah yang selama ini menjadi penopang stabilitas ekonomi pun ikut terjepit. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan yang akhirnya meluas menjadi kemarahan kolektif.
Di Jakarta, ribuan demonstran turun ke jalan sejak awal Januari 2025. Mereka menuntut pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi kenaikan harga pangan, tarif listrik, serta biaya transportasi yang dianggap mencekik. Fenomena serupa juga terjadi di kota lain seperti Surabaya, Medan, Bandung, hingga Makassar.
Aksi massa ini tidak hanya diikuti oleh kaum buruh dan mahasiswa, tetapi juga melibatkan masyarakat umum seperti pedagang kecil, sopir ojek daring, hingga ibu rumah tangga. Mereka bersatu menyuarakan ketidakpuasan yang sama: ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kebijakan ekonomi yang dianggap hanya menguntungkan segelintir elit.
Fenomena Ketidakadilan Ekonomi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Sejak lama, isu kesenjangan sosial menjadi persoalan yang berulang dari masa ke masa. Namun, di 2025 situasi terasa semakin memburuk akibat beberapa faktor, antara lain:
Gelombang protes yang meluas tentu tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga pada stabilitas politik. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga keamanan sekaligus merespons aspirasi rakyat.
Beberapa kali, aksi massa berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Situasi ini semakin memperkeruh suasana dan memunculkan kritik tajam terhadap cara pemerintah mengelola konflik sosial. Kalangan oposisi pun memanfaatkan momentum ini untuk menekan pemerintah, sementara media sosial menjadi ruang utama penyebaran opini publik.
Para pengamat politik dan ekonomi menilai bahwa Ketidakadilan Ekonomi adalah akar persoalan yang harus segera diatasi. Tanpa kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, protes semacam ini akan terus berulang.
Dr. Rendra Prakoso, seorang ekonom dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa kesenjangan pendapatan di Indonesia sudah masuk ke level mengkhawatirkan. “Selama distribusi kekayaan hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok, aksi massa semacam ini tidak akan pernah reda,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik dari LIPI, Mira Astuti, menilai bahwa protes besar-besaran ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Menurutnya, masyarakat merasa suara mereka tidak didengar, sehingga memilih turun ke jalan sebagai bentuk perlawanan.
Baca Juga : “Jejak Kecil Anak, Harapan Besar untuk Masa Depan Mereka“
Dalam menghadapi gelombang aksi massa yang semakin membesar, pemerintah berusaha mengambil sejumlah langkah darurat. Beberapa kebijakan yang mulai digulirkan antara lain:
Namun, langkah-langkah tersebut dinilai hanya sebagai solusi sementara. Masyarakat menuntut perubahan struktural yang lebih besar agar ketidakadilan tidak terus berulang.
Uniknya, aksi massa 2025 ini tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga mendapatkan sorotan internasional. Media asing mulai menyoroti kondisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan kesenjangan sosial terbesar di Asia Tenggara.
Bahkan, beberapa aktivis menyebut aksi ini sebagai “Revolusi Keadilan Ekonomi”, sebuah simbol perlawanan baru dari rakyat yang sudah lelah dengan ketimpangan. Mereka menegaskan bahwa tuntutan mereka bukan sekadar soal harga bahan pokok, tetapi juga tentang pemerataan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang kerja.