Zona Populer – Di tengah krisis lingkungan yang makin parah, dunia mencoba bersatu dalam menyusun Kesepakatan Plastik Global—sebuah perjanjian internasional yang disebut-sebut sebagai “Perjanjian Paris Baru” untuk plastik. Namun, harapan akan solusi kolektif itu tersendat. Lebih dari 100 negara menyuarakan protes atas kebuntuan negosiasi. Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang menghambat upaya global ini?
Kesepakatan Plastik Global adalah inisiatif dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membuat perjanjian internasional yang mengikat secara hukum guna mengurangi polusi plastik secara signifikan. Targetnya adalah membatasi produksi plastik baru, memperluas sistem daur ulang, dan mengurangi limbah plastik di lautan dan daratan.
Perjanjian ini dianggap sebanding dengan Perjanjian Paris 2015, yang menjadi tonggak dalam penanganan perubahan iklim. Jika Perjanjian Paris fokus pada emisi karbon, maka Kesepakatan Plastik Global menargetkan krisis plastik yang telah mencapai level darurat.
Data menunjukkan bahwa setiap tahun, lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi secara global, dan hanya 9% yang berhasil didaur ulang. Sisanya mencemari laut, merusak ekosistem, dan bahkan masuk ke rantai makanan manusia dalam bentuk mikroplastik.
Beberapa studi memperkirakan bahwa pada tahun 2050, jumlah plastik di laut bisa melebihi jumlah ikan jika tren ini tidak dihentikan. Krisis ini tidak mengenal batas negara—dampaknya bersifat global.
Sejak 2022, negara-negara anggota PBB telah melakukan beberapa sesi perundingan untuk menyusun kerangka Kesepakatan Plastik Global. Namun, dalam sesi terbaru di pertengahan 2025, perundingan tersebut mengalami jalan buntu.
Lebih dari 100 negara berkembang, yang tergabung dalam kelompok G77 plus China, menyuarakan kekecewaan besar atas jalannya negosiasi. Mereka menuduh beberapa negara kaya menghambat proses dengan menolak klausul penting terkait pembatasan produksi plastik primer (plastik baru).
Tudingan utama mengarah pada negara-negara penghasil minyak dan petrokimia, seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Rusia, dan Iran. Negara-negara ini memiliki kepentingan besar terhadap industri plastik, karena bahan baku plastik—seperti etilena dan propilena—berasal dari proses penyulingan minyak dan gas.
Dalam beberapa sesi negosiasi, delegasi dari negara-negara tersebut secara terbuka menolak usulan untuk:
Mereka beralasan bahwa pendekatan seperti itu bisa merugikan ekonomi nasional dan menghambat inovasi industri.
Menariknya, negara-negara penolak tidak secara langsung berkata “tidak” terhadap perjanjian. Mereka menggunakan taktik “blokir halus”, seperti:
Akibatnya, proses negosiasi menjadi lambat dan frustrasi pun memuncak. Beberapa diplomat menyebut bahwa ini adalah bentuk sabotase terhadap semangat kolaborasi global.
Blok G77, yang mencakup sebagian besar negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, merasa dirugikan oleh kebuntuan ini. Mereka adalah negara-negara yang paling terdampak oleh polusi plastik, namun memiliki sumber daya terbatas untuk menanganinya.
baca juga : “Resep Jus Sehat yang Disukai Anak dan Penuh Nutrisi“
Ironisnya, banyak dari limbah plastik yang mencemari negara-negara ini berasal dari negara-negara maju, baik melalui ekspor limbah maupun produk sekali pakai yang dijual secara masif.
Mereka menuntut:
Sayangnya, tuntutan ini sering diabaikan atau dibelokkan dalam forum resmi.
Bukan hanya negara, korporasi besar juga memiliki peran signifikan dalam proses ini. Beberapa laporan investigasi menyebut bahwa lobi industri petrokimia memainkan peran besar dalam membentuk sikap negara-negara penolak.
Perusahaan multinasional yang bergerak di sektor kimia dan plastik dilaporkan:
Padahal, pendekatan daur ulang saja tidak cukup jika produksi terus meningkat.
Walau situasi terlihat suram, harapan belum sepenuhnya pupus. Negara-negara pendukung, termasuk Uni Eropa, Kanada, Kenya, dan Peru, masih berupaya mendorong negosiasi ke arah yang lebih ambisius.
Beberapa analis mengatakan bahwa hasil akhir perjanjian akan sangat tergantung pada konferensi terakhir yang dijadwalkan pada akhir 2025. Jika tekanan publik dan diplomatik cukup kuat, bisa jadi negara-negara pemblokir akan melunak.
Sebagai salah satu negara dengan tingkat polusi plastik laut tertinggi, Indonesia memiliki posisi strategis. Pemerintah Indonesia menyatakan dukungan terhadap Kesepakatan Plastik Global yang ambisius, namun juga menekankan pentingnya keadilan transisi bagi negara berkembang.
Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan nasional, seperti target pengurangan 70% sampah laut pada 2025. Namun, realisasi target itu sangat tergantung pada dukungan global.
Apa yang terjadi dalam perundingan Kesepakatan Plastik Global mencerminkan ketegangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologis. Lebih dari 100 negara telah menyuarakan protes, namun kekuatan lobi industri dan politik dari segelintir negara tampaknya masih mendominasi arah pembicaraan.
Pertanyaan utama—siapa yang memblokir Perjanjian Paris Baru ini—tidak lagi menjadi misteri. Tapi kini, pertanyaan lanjutannya adalah: Apakah masyarakat dunia akan diam?