Zona Populer – Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan geopolitik dan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah menjadi sorotan utama dalam ekonomi global. Ditambah lagi dengan kebijakan proteksionis yang digaungkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, seperti kenaikan tarif impor terhadap produk-produk asal Tiongkok, banyak pihak memperkirakan sektor teknologi akan terpukul hebat. Namun, satu fakta mencengangkan justru muncul dari raksasa teknologi asal Cupertino — saham Apple justru terus menari di atas gelombang gejolak ini.
Kondisi ekonomi global saat ini bisa dibilang tidak stabil. Inflasi yang masih tinggi di berbagai negara, krisis geopolitik yang belum mereda, serta ketidakpastian pasca-pandemi menciptakan tekanan yang cukup besar terhadap pasar saham dunia. Di sisi lain, negara-negara berkembang juga bergulat dengan pelemahan mata uang dan beban utang luar negeri yang makin menekan.
Tarif dagang, terutama yang diterapkan oleh pemerintahan Trump pada masa jabatannya, menjadi salah satu pemicu utama kekacauan ini. Kenaikan tarif terhadap barang-barang asal Tiongkok tidak hanya memicu balasan dari Beijing, tetapi juga berdampak pada rantai pasok global, termasuk sektor teknologi.
Sebagai perusahaan teknologi dengan rantai pasok yang sangat tergantung pada Tiongkok, banyak yang memprediksi Apple akan terdampak cukup parah akibat kebijakan tarif Trump. Produk-produk seperti iPhone, iPad, hingga MacBook memiliki komponen yang diproduksi atau dirakit di Tiongkok.
Namun, kenyataannya berbeda. Bukannya terperosok, saham Apple justru mencatatkan lonjakan signifikan di tengah ketegangan perdagangan. Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana Apple bisa bertahan — bahkan berkembang — di tengah badai ekonomi global dan tarif dagang yang memberatkan?
Ada beberapa alasan kunci mengapa Apple tetap kokoh dan bahkan makin kuat di tengah ekonomi global yang goyah:
Apple dengan cepat merespons ketegangan perdagangan dengan strategi diversifikasi rantai pasok. Selain Tiongkok, Apple mulai memindahkan sebagian produksi ke negara-negara seperti India dan Vietnam. Langkah ini membuat Apple lebih tangguh terhadap kebijakan tarif dan gangguan rantai pasok.
Apple bukan sekadar produsen gadget, tetapi simbol status dan gaya hidup. Loyalitas konsumen terhadap brand ini begitu tinggi. Bahkan ketika harga produk naik akibat tarif, banyak konsumen yang tetap rela membelinya. Ini menciptakan perlindungan alami terhadap fluktuasi biaya produksi.
Keunggulan Apple lainnya adalah ekosistemnya yang sangat terintegrasi — dari iPhone, iCloud, Apple Watch, hingga layanan seperti Apple Music dan App Store. Konsumen yang sudah masuk ke dalam “lingkaran Apple” cenderung enggan pindah ke platform lain. Hal ini menciptakan pemasukan berulang yang stabil, bahkan di masa krisis.
Ketika ekonomi global melemah, investor cenderung mencari aset “safe haven”. Saham-saham teknologi AS, terutama Apple, menjadi magnet utama. Selain itu, kuatnya dolar AS membuat Apple tetap kompetitif secara internasional, meskipun berisiko mengurangi daya beli konsumen global.
baca juga : “Kapan Anak Boleh Main Gadget? Menemukan Keseimbangan!!“
Para investor besar jelas tidak gegabah. Mereka melihat kekuatan fundamental Apple yang tetap solid, bahkan ketika pesaing lain terpukul. Dalam beberapa laporan kuartalan terakhir, Apple berhasil melampaui ekspektasi pasar, baik dari sisi pendapatan maupun laba bersih. Layanan digital dan wearable devices seperti Apple Watch dan AirPods tumbuh pesat, menutupi potensi penurunan penjualan hardware.
Hal inilah yang membuat saham Apple tetap menjadi primadona di bursa, bahkan saat banyak saham teknologi lainnya stagnan atau turun.
Meski terlihat menari di atas badai, bukan berarti Apple kebal terhadap risiko. Ketegangan antara AS dan Tiongkok bisa kembali memanas kapan saja. Apple tetap memiliki risiko besar karena 20–25% dari pendapatannya masih berasal dari pasar Tiongkok.
Namun, bagi para investor, Apple tetap dianggap sebagai saham “defensif” yang mampu bertahan dan memberi return jangka panjang. Apalagi, perusahaan ini memiliki kas yang sangat besar — lebih dari $60 miliar — yang bisa digunakan untuk buyback saham, akuisisi, atau investasi baru.
Kondisi ini bisa menjadi pelajaran menarik bagi investor ritel di seluruh dunia. Bahwa meskipun ekonomi global goyah, selalu ada peluang di tengah krisis. Kuncinya adalah memilih perusahaan dengan:
Apple memenuhi semua kriteria tersebut.