Zona Populer – Belanda dan Gaza menjadi simbol ketegangan diplomatik sekaligus harapan bagi kemanusiaan, ketika negara Eropa tersebut ikut aktif menyuarakan keprihatinan atas kondisi di Jalur Gaza. Dalam beberapa kala terakhir, Belanda menunjukkan langkah-langkah diplomatik yang mencerminkan “diplomasi nurani” dalam menghadapi krisis yang terus memuncak.
Sejak konflik Israel–Hamas kembali memanas, Gaza telah menjadi titik penderitaan kemanusiaan yang parah. Ribuan warga sipil terluka dan kehilangan tempat tinggal karena gelombang bom dan serangan udara tak henti-hentinya. Dalam situasi seperti ini, suara negara-negara netral dan kritis seperti Belanda semakin mendapat sorotan.
Pemerintah Belanda, melalui Menteri Luar Negeri David van Weel, menyampaikan harapan agar rencana perdamaian 20 poin dari Presiden AS Donald Trump dapat membuka akses bantuan yang lebih lancar ke Gaza. Van Weel juga meninjau langsung perlintasan Rafah di sisi Mesir untuk memantau distribusi pasokan kemanusiaan, mulai dari obat-obatan hingga logistik dasar.
Selain itu, Belanda juga mengambil langkah simbolis tapi bermakna: melarang masuk dua menteri Israel yang dianggap memicu kekerasan terhadap warga Palestina, terutama di wilayah Gaza. Kebijakan ini menandai bahwa Belanda ingin tampil sebagai pihak yang tidak hanya bicara, tetapi juga bertindak ketika norma kemanusiaan direndahkan.
Namun, sikap Belanda tidak mutlak. Di satu sisi, mereka belum mengakui kedaulatan Palestina, menyatakan bahwa konflik Gaza berpotensi mengancam stabilitas kawasan serta keamanan Israel. Di sisi lain, Perdana Menteri Dick Schoof menegaskan bahwa jika Israel melanggar kesepakatan akses bantuan, Belanda siap melakukan tindakan sendiri untuk menekan pelanggaran tersebut.
Meskipun larangan terhadap dua menteri Israel memberikan sinyal diplomatik keras, dampaknya secara praktis terhadap situasi di Gaza bisa terbatas. Israel tetap menguasai jaringan militer dan politik di kawasan, sehingga tekanan diplomatik dari satu negara Eropa saja belum bisa mengubah strategi perang secara signifikan.
Dalam banyak kasus konflik berkepanjangan, langkah simbol seringkali dikalahkan oleh realpolitik dan kekuatan militer di lapangan. Artinya, meskipun diplomasi nurani seperti yang dilakukan Belanda penting, ia membutuhkan dukungan multilateral agar mampu punya bobot nyata.
Belanda sendiri menyatakan belum akan mengakui kedaulatan Palestina. Sikap ini menunjukkan bahwa mereka ingin tetap menjaga posisi diplomatik sebagai mediator, tanpa terlalu berkomitmen penuh ke sebuah belah pihak. Tetapi dalam konflik yang menuntut kejelasan moral — misalnya pelanggaran terhadap warga sipil — netralitas yang terlalu hati-hati bisa kehilangan relevansinya sebagai suara keadilan.
Agar diplomasi nurani seperti yang diusung Belanda bisa efektif, ia harus dikontekstualisasikan dalam kerangka kerja Uni Eropa dan forum PBB. Tekanan kolektif dari negara-negara Eropa dan lembaga internasional bisa memaksa Israel dan aktor konflik lainnya untuk memperhatikan aspek kemanusiaan. Belanda dalam hal ini bisa menjadi katalis penggerak aliansi diplomatik yang lebih besar.