Zona Populer – Aura Farming menjadi istilah baru yang menggemparkan dunia e-sports internasional setelah seorang bocah 11 tahun asal Indonesia memamerkan strategi unik ini dalam sebuah game MOBA populer. Tanpa diduga, teknik ini menjadi sorotan dunia karena berhasil membalikkan alur permainan secara dramatis meskipun menggunakan peran support yang biasanya dianggap kurang populer. Keberhasilan bocah ini membuktikan bahwa strategi dan pemahaman terhadap permainan bisa jauh lebih penting daripada sekadar agresivitas atau kill tinggi.
Kisah ini bermula dari unggahan video berdurasi 59 detik di TikTok yang menunjukkan gameplay seorang bocah bernama Rafka, asal Semarang, yang bermain sebagai support di game Mobile Legends. Dalam video tersebut, ia tidak terlihat melakukan kill besar atau aksi mencolok, namun timnya mendominasi sepanjang pertandingan.
Yang menarik perhatian adalah caranya memanfaatkan efek aura dari item dan skill hero untuk memperkuat tim secara pasif. Ia memosisikan dirinya dengan sangat tepat, memaksimalkan setiap efek radius aura tanpa terlalu sering bertarung langsung. Inilah yang kemudian disebut sebagai Aura Farming oleh komunitas game, merujuk pada gaya bermain yang menitikberatkan pada pemanfaatan buff area dan efek pendukung secara konstan.
Video itu pun viral dalam waktu 24 jam. Tak hanya di Indonesia, reaksi juga datang dari komunitas gamer di Filipina, Malaysia, Korea Selatan, bahkan Amerika Serikat. Dalam beberapa hari, konten tersebut sudah mencapai lebih dari 3 juta penayangan lintas platform.
Dalam dunia game MOBA, “farming” umumnya merujuk pada aktivitas mengumpulkan gold dan experience melalui minion, monster hutan, dan kill. Namun Aura Farming berbeda. Ini adalah pendekatan strategis yang lebih pasif tapi sangat berdampak. Fokus utamanya adalah:
Teknik ini umumnya dilakukan oleh hero support seperti Estes, Angela, Diggie, atau bahkan hero tank seperti Lolita dan Belerick. Dengan memahami timing dan area, Aura Farming memungkinkan tim bertahan dan menyerang lebih stabil—tanpa bergantung pada damage besar.
baca juga : “Tato Couple Viral di Thailand, Bisa Nyambung Kalau Berpelukan!“
Dalam sebuah wawancara dengan media lokal, Rafka mengatakan bahwa ia mulai mencoba berbagai gaya bermain sejak usia 9 tahun. Ia bosan bermain sebagai marksman karena selalu jadi sasaran utama lawan. Akhirnya, ia mulai mencari cara agar bisa menang tanpa harus jadi bintang.
Ia pun mencoba bermain support, dan bereksperimen dengan kombinasi item dan positioning. Setelah ratusan pertandingan, ia menemukan bahwa efek aura yang dihasilkan bisa sangat signifikan jika diposisikan dengan tepat dan tidak terlalu sering mati. Dari sinilah istilah Aura Farming ia gunakan untuk menyebut gaya bermainnya.
Rafka bahkan membuat catatan pribadi untuk menghitung radius setiap item aura, waktu cooldown optimal, serta zona aman saat war. Ia menyebutnya sebagai “peta rotasi aura”, dan teknik ini akhirnya menjadi fondasi dari permainan suportifnya yang efisien.
Setelah viral, banyak komunitas gamer dan konten kreator besar mengulas strategi ini. Salah satu analis e-sports dari Korea Selatan bahkan menulis artikel mendalam tentang potensi Aura Farming di kompetisi tingkat tinggi. Ia menyebut gaya bermain ini sebagai “revolusi senyap dalam dunia support”, karena mengandalkan koordinasi dan kesabaran tinggi dibandingkan aksi frontal.
YouTuber populer seperti Hororo Chan, Jess No Limit, dan Zxuan pun mencoba mengadaptasi gaya bermain ini di konten mereka. Beberapa berhasil, namun banyak yang kesulitan karena strategi ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang map control dan reading tempo permainan lawan.
Fenomena ini mengubah cara pandang banyak pemain muda di Indonesia. Jika dulu pemain support sering dianggap sebagai “beban” tim karena tidak menghasilkan banyak kill, kini justru menjadi sorotan utama. Banyak komunitas kecil mulai mengadakan pelatihan strategi support berbasis Aura Farming, termasuk membuat video tutorial, mini-turnamen, dan forum diskusi build.
Beberapa sekolah e-sports bahkan menghubungi orang tua Rafka untuk menawarkan pelatihan lanjutan atau beasiswa e-sports. Namun, sang ibu menyatakan bahwa mereka masih fokus pada pendidikan dasar, meskipun mendukung bakat anaknya di dunia game selama seimbang dengan sekolah.
Di sisi lain, beberapa tim e-sports Indonesia juga mulai melakukan trial terhadap gaya bermain ini dalam sesi scrim atau latihan tertutup. Mereka mulai merekrut pemain support dengan gaya permainan serupa sebagai variasi strategi yang bisa digunakan saat melawan tim dengan meta agresif.
Meski banyak mendapat pujian, Aura Farming tidak luput dari kritik. Beberapa pemain menyebut strategi ini terlalu pasif dan membosankan untuk ditonton dalam turnamen. Ada pula yang menyebutkan bahwa strategi ini bisa jadi “terlalu kuat” jika tidak diseimbangkan oleh pengembang game, terutama bila semua tim mulai menggunakan gaya bermain yang sama.
Namun menurut analis, Aura Farming tetaplah bagian dari evolusi strategi. Dalam permainan kompetitif, keberagaman strategi adalah hal yang wajar dan akan selalu berkembang. Lagipula, untuk menjalankan Aura Farming secara efektif, dibutuhkan kerja tim dan koordinasi tinggi—hal yang tidak bisa dilakukan sembarangan.
Apakah strategi ini akan menjadi meta baru dalam dunia e-sports? Belum bisa dipastikan. Namun yang jelas, Aura Farming telah membuka cakrawala baru bahwa strategi mendalam bisa muncul dari mana saja—bahkan dari seorang bocah 11 tahun di kota kecil Indonesia.
Beberapa rumor menyebutkan bahwa pengembang game mulai melirik gaya bermain ini dan mempertimbangkan untuk melakukan balancing atau memberikan item khusus yang mendukung atau menyeimbangkan efek aura. Jika itu terjadi, maka Aura Farming bisa menjadi pilar baru dalam game MOBA modern.
Rafka sendiri menyatakan ingin suatu hari nanti bergabung dengan tim e-sports profesional dan membawa gaya bermainnya ke panggung dunia. Ia juga mulai membuat kanal YouTube edukatif untuk menjelaskan teknik dan filosofi Aura Farming dengan cara yang mudah dipahami oleh pemain pemula.